Orang Tua Menerapi Anaknya dengan Hipnosis, Mungkinkah?
Oleh: Ir. H. NSK Nugroho, MBA, CHt, MCH
(International Professional Hypnotherapist)
Setiap orang tua atau pengasuh anak pasti ingin yang terbaik bagi
anaknya atau asuhannya sehingga siap mandiri ketika dia dewasa. Mereka
pasti sangat berharap bahwa nilai-nilai yang mereka inginkan dapat
sampai dan diterima oleh anaknya. Untuk itu mereka berusaha memperdalam
dan memperluas wawasan pengetahuan mereka mengenai pengasuhan anak dari
berbagai sumber, seperti buku, seminar, psikolog, tokoh agama, dan
sebagainya. Sumber-sumber tersebut, menurut saya pribadi, tidak ada yang
jelek dan salah, semuanya bagus karena mereka pasti dapat
mempertanggungjawabkan apa yang mereka sampaikan.
Sebagian besar dari orang tua dan pengasuh, dapat mengimplementasikan
dengan baik dan benar dari apa yang mereka peroleh, namun banyak pula
beberapa di antara mereka yang merasa kesulitan untuk
mengimplementasikannya sehingga apa yang mereka inginkan tidak
tersampaikan kepada anak, seperti dalam banyak pengalaman saya menangani
kasus anak dan pengasuhan (parenting).
Banyak permasalahan anak dan remaja yang terjadi, yang menurut para
orang tua atau pengasuhnya, seperti ”bandel”, tidak punya motivasi,
malas, penakut, sulit konsentrasi, ”blank” ketika ulangan, temperamen,
takut sesuatu (topeng atau kucing misalnya), susah makan, takut ke
sekolah, takut guru, dan sebagainya. Dan menariknya, meskipun
kadang-kadang orang tua mengatakan demikian, si anak sendiri merasa
baik-baik saja dengan perilakunya. Begitulah keluhan-keluhan yang saya
sering dengar di klinik.
Kembali kepada definisi hypnosis dalam tulisan saya sebelumnya,
selama anak sudah memberikan respon (mengikuti atau melawan), berarti
orang tua tersebut sudah menghypnosis anaknya. Dalam
hal ini komunikasi orang tua sebenarnya sudah efektif, karena sudah ada
efeknya yaitu mengikuti atau menolak. Hanya, apakah sudah tepat atau
tidak dengan harapan orang tua, itulah yang menjadi masalah. Saya sering
menjumpai apa yang diharapkan orang tua malah diterima terbalik oleh
anaknya. Maksud orang tua adalah memotivasi anak, tapi yang terjadi
anaknya malah ter “de-motivasi”.
Berbeda lagi jika anak tidak memberikan reaksi apapun terhadap apa
yang disampaikan orang tua. Hal ini terjadi biasanya karena orang tua
tidak menyampaikannya secara sugestif, atau orang tua menggunakan bahasa
komunikasi yang sama sekali belum dipahami anak. Jangan berharap apa
yang kita sampaikan adalah efektif kalau tidak menyampaikan secara
sugestif. Apalagi bagi seorang anak yang masih di bawah 10 tahun.
Referensi dalam sistem nilai yang mereka miliki masih sangat sederhana
sehingga kemampuan menganalisanyapun (untuk menentukan mengikuti atau
menolak) masih sederhana. Boleh dikatakan perlawanan mereka terhadap
suatu sugesti sangat rendah. Sayangnya keadaan ini tidak dimanfaatkan
orang tua untuk menyampaikan pesan secara sugestif, sehingga anak tidak
menyerap pesan dengan baik untuk menindaklanjuti pesan tersebut.
Dalam kasus-kasus di atas,
rata-rata orang tua mengatakan bahwa mereka sudah menggunakan berbagai
cara, dari halus sampai kasar, toh tetap tidak ada hasilnya. Sebenarnya
bukan masalah halus atau kasarnya, tetapi sudah tepatkah
cara kita? Sudah tersampaikankah apa yang kita maksud kepada anak? Saya
mengatakan “tepat” bukan “benar”, maksudnya apakah cara kita
menyalurkan pesan sudah sesuai dengan keadaan anak atau tidak? Mengenai
benar atau salah adalah masalah isi yang yang akan dikomunikasikan. Dan
saya yakin, isi pesan yang dikomunikasikan orang tua kepada anak
pastinya benar (karena pasti sesuai dengan nilai-nilai yang mereka
miliki).
Ketika melakukan terapi, saya sering melihat gaya orang tua yang
berbicara kepada anaknya persis seperti ketika mereka berbicara kepada
anak buahnya atau orang seusia mereka. Mereka menganggap anaknya seolah
seumur mereka. Mereka menganggap anaknya sudah tahu segalanya. Mereka
menganggap anak sudah tahu atau langsung tahu apa-apa yang sudah pernah
mereka sampaikan kepada anak. Dan yang lebih menyedihkan, apabila
anaknya tidak bisa, mereka langsung menuduh anaknya punya kelainan jiwa,
padahal belum ada bukti medisnya.
Berdasarkan pengalaman saya menangani ratusan anak, keadaan inilah
yang utama sehingga orang tua menuduh anaknya memiliki masalah. Hampir
95% kasus anak berasal dari permasalahan komunikasi yang tidak efektif
ini. Dalam hal ini, biasanya sumber permasalahan berasal dari orang
tuanya, mungkin cara berkomunikasinya kepada anak (verbal maupun non
verbal) yang kurang efektif.
Sayangnya, ketidak pahaman anak tersebut ini pada umumnya ditanggapi
lain oleh para orang tua atau pengasuh. Mereka langsung melabel anaknya
sebagai ”bodoh”, ”bandel”, “tidak punya motivasi”, “malas”,
“pembangkang”, “maunya sendiri”, “tidak mau mendengar”, “tidak mau
berpikir”, “tidak mampu”, atau sebaliknya, “anak saya tidak percaya
diri”, “dia tidak pernah mengungkapkan apa maunya”, “dia selalu
tergantung pada orang tua”, dan sebagainya. Dan lebih jauh lagi, karena
mereka sudah mencapnya demikian, maka tindakan mereka kepada anak mereka
berdasarkan label yang mereka buat sendiri.
Misalnya orang tua, karena sudah mencap anaknya pembangkang, maka
anak sering dibentak-bentak (atau bahkan orang tua “main tangan”) supaya
patuh, atau memaksakan anaknya mengikuti kehendaknya. Gaya orang tua
atau pengasuh seperti ini, dimana si anak belum paham apa yang dimaui
orang tuanya, yang dia dengar hardikan orang tuanya, yang lama kelamaan
dapat membuat anak merasa tidak nyaman. Dan berdasarkan nalurinya, anak
akan berusaha untuk keluar dari keadaan tidak nyaman ini dalam bentuk
tindakan yang radikal seperti berontak di setiap situasi yang sama. Di
sisi lain, mungkin anaknya jadi “patuh”. Kata patuh ini saya beri tanda
kutip karena, anak melaksanakan perintah orang tuanya saja, tanpa tahu
apa maksudnya.
Berdasarkan pengalaman terapi menghadapi anak seperti ini, si anak menjadi “terlalu patuh”, seperti robot, dimana si anak tidak memiliki motivasi sendiri dalam melakukan suatu hal. “Hanya melakukan bila disuruh atau ada yang menyuruh”. Pertama orang tua menganggapnya seolah “baik” dan “penurut”, tapi orang tua menjadi bingung karena anak tersebut tidak melakukan apa yang mereka perintahkan saat orangtua tidak berada di dekat si anak. Bahkan akhirnya mereka tidak punya pendirian atau tidak pernah mampu mengungkapkan keinginan mereka. Hal ini terjadi karena si anak selalu merasa tidak nyaman bila berbicara dengan orang tuanya. Dia akan menggeneralisasi keadaan ini menjadi “percuma bicara sama orang tua, karena selalu merasa tidak nyaman”. Si anak bisa menjadi pendiam seribu bahasa, tidak pernah mampu mengekspresikan diri. Di sinilah anehnya, orang tua jadi bingung karena anaknya diam terus dan tidak pernah bicara atau bahkan mengungkapkan keinginan mereka. Bahkan ketika ditanya apa kemauan mereka, si anak selalu menjawab dengan terserah pada kemauan orang tua saja.
Berdasarkan pengalaman terapi menghadapi anak seperti ini, si anak menjadi “terlalu patuh”, seperti robot, dimana si anak tidak memiliki motivasi sendiri dalam melakukan suatu hal. “Hanya melakukan bila disuruh atau ada yang menyuruh”. Pertama orang tua menganggapnya seolah “baik” dan “penurut”, tapi orang tua menjadi bingung karena anak tersebut tidak melakukan apa yang mereka perintahkan saat orangtua tidak berada di dekat si anak. Bahkan akhirnya mereka tidak punya pendirian atau tidak pernah mampu mengungkapkan keinginan mereka. Hal ini terjadi karena si anak selalu merasa tidak nyaman bila berbicara dengan orang tuanya. Dia akan menggeneralisasi keadaan ini menjadi “percuma bicara sama orang tua, karena selalu merasa tidak nyaman”. Si anak bisa menjadi pendiam seribu bahasa, tidak pernah mampu mengekspresikan diri. Di sinilah anehnya, orang tua jadi bingung karena anaknya diam terus dan tidak pernah bicara atau bahkan mengungkapkan keinginan mereka. Bahkan ketika ditanya apa kemauan mereka, si anak selalu menjawab dengan terserah pada kemauan orang tua saja.
Keadaan-keadaan seperti di atas itulah yang membuat orang tua menjadi
merasa jengkel atau jadi menyerah, meskipun belum ada referensi medis
apapun, mereka sudah menuduh anaknya termasuk ABK (Anak Berkebutuhan
Khusus) seperti, hiperaktif, autis, ADHD, lemah, sakit jiwa dan
sebagainya. Padahal, untuk menentukan ini, seorang dokter syaraf ataupun
psikiater membutuhkan diagnosa dan analisa yang mendalam.
Metoda Hipnosis
Sebelum kita bahas lebih lanjut, hipnosis mempunyai dua metode
pendekatan. Pendekatan Tradisional/ Konvensional dan Pendekatan Moderen,
dimana dalam hypnosis konvensional lebih diutamakan relaksasi dan
sugesti ditanamkan, sedangkan dalam metoda moderen tidak diutamakan
relaksasinya tetapi kepada proses teurapetiknya.
Sebenarnya tidak masalah, metoda manapun yang akan digunakan; karena
yang mengendalikan proses hipnosis adalah orang yang dihipnosis sendiri.
Hipnoterapi bukan bicara gagal atau berhasil, tapi lebih kepada
keefektifannya. Proses hypnoterapi akan lebih efektif jika orang yang
diterapi mau bekerjasama dengan terapistnya, dan lebih lagi jika orang
tersebut mempunyai kemauan untuk menyelesaikan masalahnya. Maka,
terlihat di sini yang menentukan keefektifan hipnoterapi adalah
bagaimana hubungan antara terapis dengan orang yang diterapi. Kemauan
untuk bekerjasama hanya didapatkan jika orang tersebut percaya pada
terapisnya.
Dalam kasus orang tua dengan anak, tentunya keefektifan hipnoterapi, pertama-tama, ditentukan oleh bagaimana hubungan antara orang tua dengan anak. Setelah itu, mengenai pemilihan metoda serta teknik mana yang akan digunakan (konvensional, moderen, atau gabungan keduanya) tergantung konteksnya pada saat permasalahan terjadi, karena sepertinya tidak mungkin kita menterapinya dengan gaya hipnosis konvensional (yaitu dengan membuat anak untuk rileks) sementara anak masih aktif bermain. Gaya seperti ini dapat dilakukan ketika anak menjelang tidur atau saat bangun, atau ketika anaknya sedang santai. Tapi pertanyaannya, sempatkah orang tua jaman sekarang sering-sering melakukan hal tersebut di jaman yang sangat sibuk ini? Untuk berjumpa anak ketika anak menjelang tidur merupakan kesempatan langka? Itupun hanya dapat dilakukan jika hubungan antara orang tua dengan anaknya kondusif.
Dalam kasus orang tua dengan anak, tentunya keefektifan hipnoterapi, pertama-tama, ditentukan oleh bagaimana hubungan antara orang tua dengan anak. Setelah itu, mengenai pemilihan metoda serta teknik mana yang akan digunakan (konvensional, moderen, atau gabungan keduanya) tergantung konteksnya pada saat permasalahan terjadi, karena sepertinya tidak mungkin kita menterapinya dengan gaya hipnosis konvensional (yaitu dengan membuat anak untuk rileks) sementara anak masih aktif bermain. Gaya seperti ini dapat dilakukan ketika anak menjelang tidur atau saat bangun, atau ketika anaknya sedang santai. Tapi pertanyaannya, sempatkah orang tua jaman sekarang sering-sering melakukan hal tersebut di jaman yang sangat sibuk ini? Untuk berjumpa anak ketika anak menjelang tidur merupakan kesempatan langka? Itupun hanya dapat dilakukan jika hubungan antara orang tua dengan anaknya kondusif.
Apakah lalu jadi kartu mati bahwa orang tua tidak mungkin menterapi
anaknya sendiri dengan hypnosis jika hubungan orang tua dengan anak
kurang baik? Tidak! Celah tersebut masih ada dan bisa dilakukan selama
gaya orang tua mau berubah. Atau dengan kata lain, bila gaya hipnosis
orang tua kepada anaknya berubah maka anak akan berubah.
Berubah seperti bagaimana? Yaitu intinya dengan cara berkomunikasi, baik secara verbal maupun non verbal yang persuasif, sugestif dan efektif, sehingga pesan dapat diterima dengan benar oleh anak.
Albert Mehrabian, seorang psikolog Amerika yang memperdalam
komunikasi, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa dalam suatu
komunikasi, kata-kata hanya terlibat 7% sedangkan sisanya, 55% adalah
bahasa tubuh dan 38% adalah intonasi. Dalam penjelasan tulisan saya yang
lain telah disebutkan bahwa dasar hipnosis adalah komunikasi, maka
bahasa tubuh dan intonasi memegang peranan penting dalam proses
hipnosis.
Banyak orang tua yang mengatakan bahwa mereka sudah menggunakan
intonasi halus dan bahasa tubuh sebaik mungkin, namun belum berhasil
juga. Jadi harus bagaimana lagi. Sekali lagi, saya perlu sampaikan bahwa
hipnosis bukan bicara mengenai baik atau buruk, bagus atau jelek,
tetapi berbicara mengenai suatu kecocokan. Dan yang dikatakan cocok
adalah sesuai dengan sistem nilai dan referensi anak. Bukannya orang tua
tidak boleh marah kepada anak atau keras kepada anak, tetapi kembali
lagi ke pertanyaannya, apakah pesan kita tersampaikan dengan efektif
kepada anak?
Selain itu, kalau kita cermati penelitian Mehrabian lebih dalam,
dapat juga kita katakan bahwa orang lebih memperhatikan dan memahami apa
yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar dan rasakan dari orang
yang mengajaknya bicara. Sehingga, dalam kasus anak di sini, ditambahkan
bahwa anak lebih banyak bercermin (Role Play) kepada orang tuanya maka
sikap orang itupun dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Inilah yang biasa saya “share” dalam pelatihan Hypnotic Communication for Parenting yang saya berikan.
Berdasarkan pengalaman di klinik, untuk kasus-kasus 95% di atas
dimana permasalahan terjadi karena masalah hubungan orang tua terhadap
anak (verbal dan non verbal), ada yang menarik bahwa begitu orang tua
merubah gayanya, secara otomatis anak juga berubah. Akibatnya pada
beberapa kasus, secara tidak langsung permasalahan anak akhirnya
berhasil diatasi.
Kesimpulan
Permasalahan hubungan orang tua dengan anak ditentukan bagaimana
tingkat efektifitas komunikasi yang terjadi di antara mereka.
Berdasarkan pengalaman, semakin baik komunikasi yang terjadi, hubungan
orang tua dengan anak semakin kondusif. Akibatnya, akan sangat lebih
mudah bagi orang tua untuk menyelesaikan masalah mental pada anak. Anak
akan lebih terbuka terhadap orang tua, sehingga orang tua dapat
menyelesaikan permasalahan anak dengan tepat.
Sikap dan perilaku bukanlah turunan, tetapi terjadi karena proses
hipnosis yang tidak sengaja dari orang tua. Anak hanyalah “victim” atau
produk saja. Bagaimana mereka terbentuk, sangat tergantung pada
cetakannya, dalam hal ini orang tuanya.
Nah, menurut anda sendiri apakah anda sudah menghipnosis anak anda dengan tepat?
Referensi:
Post a Comment